Angka Sembilan Angka Pengubah Nasibku, Yang Kudamba ialah Kebebasan
(A. Bame,OSA)
Lirikan lagu kaka besarku “hidup ini hanya misteri [..…] yang kudamba yang kunanti tiada lain, hanya kebebasan” membuatku terus berpikir dan berharap tentang mimpi besar dari sebuah bangsa di bagian barat Pulau Papua yang dilumpuhkan oleh kesalahan besar akibat kerakusan-hasrat berkuasa dan dominasi besar segelintir orang baik pebisnis, politisi maupun tokoh agama, tokoh adat masyarakat/adat serta negara yang bermental mafia, kapitalis, oligarkis dan colonizer yang memainkan cara kotor dan keras serta jahat. Sambil memikirkan itu, aku berusaha menghubungkan dengan angka yang penuh misteri, pembawa maut, angka paling mematikan bagi bangsa Papua. Namanya angka Sembilan. Mengapa angka? Karena bahasa deskriptif, bisa saja berubah tergantung siapa yang berkuasa, siapa yang bisa berceritera banyak tetapi angka akan terus menyampaikan kepastian.
Lagi-lagi angka Sembilan. Namanya angka Sembilan. Di sepak bola, sangat penting angka ini bagi pemiliknya. Kedua, adik dari angka ini yakni angka Delapan adalah angka kesempurnaan dari orang di Asia Timur sedangkan Tujuh menjadi angka yang memiliki makna kesempurnaan dan keberuntungan, kesempurnaan penciptaan, anugerah dan berkat bagi keturunan Abraham (darah maupun iman).
Angka Sembilan membangunkan aku dari tidur panjang. Ternyata aku lahir tanggal 29 yang juga merupakan pesta Malaikat Agung, bulan Sembilan, tiga puluh enam tahun yang lalu. Angka Sembilan menyadarkan aku dari mimpi ke realitas. Angka ini menarik aku keluar dari kertas ke realitas. Angka Sembilan mengingatkan aku akan dosa lupa. Angka Sembilan mendorong aku untuk berbicara dan berbuat.
Aku bangun, melihat realitas, dan bertanya dan bertanya. Aku berpikkir dan bertanya; hidup di negeri manusia bukan mauku. Aku berada di pulau ini bukan kehendakku. Tapi aku tahu, dari awal aku diadakan, maka aku berada di sini. Dari Adam sampai Yesus, dari Adam sampai Muhamad. Dari Alfa hingga Omega aku di sini, di negeriku ini, Papua. Dari hidup sampai mati aku adalah manusia, aku sadar akan itu. Hitam kulit,keriting rambut, aku Papua menceriterakan identitas fisikku. Biarpun nanti langit terbelah, aku Papua menyatakan kesadaranku atas eksisitensi diriku yang tak dapat dibagi-dipilah, ditukar dan ditawar, ditipu dan ditiadakan.
Kembali lagi, dari Adam sampai Yesus, dari Adam sampai Muhamad. Dari Alfa hingga Omega aku di sini, di negeriku ini, Papua. Siapa yang bilang aku bukan manusia? Apalagi menyamakan aku dengan hewan tertentu. Mungkin mereka lebih dahulu berasal dari sana pula! Di sini, di tempatku, aku sungguh menikmati kelimpahan, kebebasan dan kebahagian sebelum mengenal engkau. Kedamaian dan persaudaran dengan semua ciptaan sebagi temanku. Tak ada yang kurang dan hilang dariku, terima kasih Tuhan. Tanah leluhurku sudah ada, bahasaku, busurku, atapku sudah dipakai. Aku menikmati kebahagian dan kelimpahan, merasa tak ada yang kurang.
Namun angka sembilan telah merampas semuanya dariku. Enam Sembilan buah kesombong dan kebohongan dipanen setelah beberapa tahun pembibitan yang dilakukan oleh para penjahat demokrasi dan kebebasan. Enam Sembilan aku dimasukan dengan rayuan maut dan moncong pelatuk maut. Enam Sembilan paksaan dan intimidasi mewarnai sebelum dan saat pesta rakyat yang bertentangan dengan NYA-1962 dilaksanakan. Aku harus memilih satu M dari 2M: Masuk atau Mati; Manut atau Maut. Aku diantara pilihan Lanjut atau Lepas, Lari atau Lawan, Maju atau Mundur. Enam Sembilan aku terpaksa mengakui ceritera dan membenarkan narasi bahwa aku dilahirkan premature oleh seekor burung gagah perkasa yang berbeda dan tak kukenal. Padahal induk sejatiku ialah burung surgawi. Enam sembilan kupikir, burung surgawi, ternyata burung duniawi yang tak kukenal. Betapa susah kubayangkan apa jadinya jika telur yang berbeda itu ketika diretas dan dipelihara oleh burung duniawi. Fisik-ku dan diriku serta harta kepunyaanku menjadi ancaman, keuntungan, rampasan dan hinaan mereka. Enam Sembilan aku dimasukan bukan karena diriku, bulu emasku, suara indahku, ketajaman mataku, keindahan tarianku dan kelincahkan terkaman mangsaku tetapi karena gunung emasku, tempat aku menari. Ternyata mimpi besarku sebagai sebuah bangsa dilumpuhkan oleh kesalahan besar akibat kerakusan-hasrat berkuasa dan dominasi besar segelintir orang dan negara yang bermental mafia, kapitalis, oligarkis dan colonizer yang memainkan cara kotor dan keras serta jahat.
Para penikmat gunung emasku yang dijaga jutaan tahun berpesta pora. Hanya enam kata ini yang menceriterakan tentang diri mereka: Rakus, Rekayasa, Ribut, Rebut, Rampas dan Rusak-Robek. Dari enam Sembilan aku tahu, kerakusan mendorong mereka merekayasa. Lalu merampas dan mengusai hingga merusak segalanya dariku termasuk harkat, derajat, martabat dan hak-hak. Dari enam Sembilan itu aku memberontak demi nilai-nilai hidupku, demi hak-hak personal dan komunal. Dari enam sembilan pula air mata dan darah terus mengalir.
Angka sembilan belas tahun dua ribu sembilas membuatku sadar. Aku sadar bahwa aku diperlakukan demikian, meskipun aku tidak menerima. Itu karena aku bukan dari bangsa ini, kata mereka. Bagi mereka iya memang benar, aku dari bangsa lain. Aku dari dunia lain, bangsa monyet, aku dari kaum binatang. Existensiku sebagai manusia ditiadakan oleh mereka. Pantas mereka merampas hakku, menginjak martabatku. Mereka merusak alamku, sumber hidupku. Mereka menghancurkanku dari atas ke bawah, kiri ke kanan, dari ujung kepala lewat belakang hingga ekor.
Aku takut bercampur marah tetapi tak berdaya. Aku kecewa sambil meratap tapi tak dipandang dan didengar. Pikiriku, tak ada yang lain selain melawan. Kumau berjuang untuk melawan demi membela martabatku tetapi sangat susah. Semakin aku berteriak semakin kencang serangan balik. Semakin aku berusaha semakin banyak korban berjatuhan dan semakin banyak darah yang mengalir. Perlawananku demi martabat dan hak-hak pribadi dan bangsaku hanya melahirkan ketidakadilan ke ketidakadilan, pelanggaran yang satu ke pelanggaraan yang lain. Hasil perlawananku bagaikan menangkap angin. Tetapi aku tetap berharap karena keyakinanku mengajarkan demikian.
Aku meminta bantuan, entah ke mana. Negara besar, adidaya, sangat mustahil karena ada kepentingan bisnis di sana; USA dengan Freeport di Timika, Inggris dengan BP di Bintuni, dll. Negara kecil sebangsaku, bisa membantu tetapi sejaumana komitmen dan hasrat mereka. Lebih sakit ketika saudara sebangsa menjadi pengkhianat. Musuh dalam selimut jauh lebih berbahaya daripada musuh di rumah sebelah. Aku meminta bantuan tetapi aku menjadi ragu juga karena lobby penguasa Indo sangat dahsyat juga. Jangan heran kalau negara-negara kecil sebaangsaku atau negara besar takut bicara yang benar karena mereka juga butuh duit dan proyek besar. Mereka juga pasti ada posisi dan sikap tawarnya. Aku tidak tahu kira-kira berapa juta dollar mereka dapat dari penguasa Indo. Proyek apa yang mereka dapat. Tetapi aku sadar dan yakin, perjuangan bangsaku tidak harus bergantung dan berharap pada mereka karena mereka memiliki misi sendiri untuk negara dan rakyat mereka. Aku harus kuat dan tetap berjuang.
Hanya satu yang kudambakan dan kubutuhkan yakni kebebasan. Kebebasan membawa keadilan, kedamaian bagi diriku, bangsaku. Kebebasan menjamin kebahagiaan sejati bangsaku.
Banyak jalan ke sana tetapi yang paling awal dan cocok ialah duduk bicara. Aku dan yang lain, yang berlawananan denganku duduk di para-para, honai, amah yang sama sambil buka diri, buka hati, buka mata, buka pikiran, buka masa lalu, lihat masa kini, buat rencana masa depan. Masalah bisa selesai dengan mudah, murah, meriah dan memuaskan lewat bicara dari hati ke hati, otak dengan otak bukan dengan otak dan otot, sejawat dan senjata. Masalah bisa selesai dengan cepat, tepat dan bermanfaat bersar ketika komunikasi, dialog menjadi sarana penyelesaiannya. Kita duduk bicara bukan untuk mencari tahu kesalahan, menghakimi, menghukum, menguntuk satu sama lain tetapi untuk memahami dan menyadari jantung-inti masalah, mengakui dan menerima, memaafkan dan dimaafkan, menolak yang tidak baik dan berjanji tidak mengulangi, merapatkan barisan, menyusun komitmen baru dan bergerak bersama. Maka pintu rumah, rumah diriku, rumah bangsaku, rumahmu harus dibuka. Buka. Susah kha? Apa yang susah? Tidak perlu takut sebelum berbicara. Jika dunia menutup rapat pintu dan aku menutup rapat diriku, masalah lama melahirkan masalah lama, masalah melahirkan masalah baru, masalah yang baru melahirkan masalah baru yang lain, masalah demi masalah akan terus terjadi. Mari, angka Sembilan buat kitong duduk bicara.
Athanasius Bame,OSA Anggota Biara OSA Papua