(0 pemilihan)

Kecintaan Pada Spiritualitas Agustinus: Cinta akan Pengetahuan dan Pencarian Kebenaran

   

Kecintaan Pada Spiritualitas Agustinus:

Cinta akan Pengetahuan dan Pencarian Kebenaran[1]

             Oleh: Fr. Andrew P. Batayola, OSA

(Diterjemahkan oleh Athanasius Bame,OSA)

 

1. Prakata  “O truth, O truth, how deep is the yearning for you in the inmost depths of my being.”

Kata-kata dari St. Agustinus yang menggambarkan dirinya yang sangat berhasrat dalam mencari kebenaran.  Adalah suatu kegembiraan bagi saya karena diundang untuk berbicara di kongres internasional ini dan saya akan berada bersama Anda selama empat hari ke depan karena beberapa alasan mendasar. Alasan pertama saya terlibat di sini ialah bahwa saya terdorong oleh pesan utama dari Prior Jenderal Ordo kita, P. Alejandro Moral Anton, OSA, di mana dia mengutip dari Konstitusi Ordo bahwa bahwa kita perlu memiliki ‘penghargaan terbesar untuk kerasulan pendidikan dan menganggapnya sebagai salah satu misi khusus Ordo kita’ (Const 161). Jadi saya yakin bahwa kebersamaan saya sebagai sesama pendidik Agustinian dan kehadiran kita semua dalam kongres ini menunjukkan penghargaan kita pada kerasulan ini.

Kedua, sebagai bagian dari rencana karya Komisi Kerasulan Pendidikan, pada level Ordo (Roma), komunitas edukatif provinsi dan komunitas edukatif lokal, untuk memperkuat budaya dan spiritualitas Agustinian di sekolah-sekolah kita, sehingga konferensi singkat tentang spiritualitas dan kongres pendidikan akan diadakan. Mungkin melalui presentasi ini, baik para biarawan dan pendidik awam serta pendukung lain dari kerasulan pendidikan ini akan didorong untuk bekerja sama dan membangun jaringan dengan orang lain dalam pekerjaan dan pelayanan kita sebagai Agustinian. Saya bersedia untuk berbagi pemikiran saya kepada dan dengan Anda sambil saya juga akan terus belajar pengalaman, realitas dan situasi (konteks) dari pelbagi sekolah Agustinian lainnya.   

 Ketiga, meskipun topik spiritualitas adalah minat saya, saya juga memiliki hasrat untuk berbicara tentang hal ini di ruang kelas, di gereja, di komunitas basis gerejawi, dalam sesi akademis atau dalam pertemuan seperti ini. Tapi di atas semua itu saya tidak bisa mengatakan 'Tidak' untuk menolak permintaan dari Vikaris Jenderal & Presiden Komisi Pendidikan kita, Fr. Joseph Farrell, OSA. Saya berharap berbagi pemikiran spiritual saya tentang Agustinus akan sangat membantu kita semua dalam upaya mencari dan berziarah menuju Allah, Sang Kebenaran (Trurth). Adalah keinginan besar saya untuk dapat melakukan ini, atau sebaliknya saya merasa bahwa saya akan ditegur oleh guru spiritual saya, Agustinus yang pernah berkata: “Jika tidak ada sesuatu yang dapat Anda katakan sehingga membuat saya lebih baik daripada sekarang, lalu mengapa Anda berbicara kepada saya?” Artinya, jika tidak ada yang ingin kusampaikan yang akan membuatmu lebih baik dari saat ini, lebih baik saya tutup mulut! 

Tema Kongres Pendidikan Agustinian saat ini adalah “Pedagogi Agustinian: Semangat untuk Pendidikan” (Augutinian Pedagogy: A Passion for Education). Tema ini berpedoman pada kata-kata Agustinus “Cinta ilmu dan kebenaran seharusnya mendorong kita untuk terus belajar. Kasih kepada sesama harus mendorong kita untuk mengajar.” Untuk menjelajahi tema di atas, saya ditugaskan untuk menyampaikan ceramah tentang topik – Semangat Spiritualitas Agustinian: Cinta akan Pengetahuan dan Pencarian Kebenaran” (Passion for Augustinian Spirituality: The Love of Knowledge and Search for Truth). Tidak ada hal baru untuk dibagikan dengan Anda, tetapi untuk mempelajari topik ini, saya ingin mencoba menjelaskan hal ini dalam tiga bagian: pertama, Form (dasar-bentuk): Spiritualitas Agustinian dalam Karya-Kerasulan Pendidikan; kedua, Re-Inform: Berbagai Diskusi Terkait Pengetahuan dan Kebenaran; dan ketiga, Transform: TantanganTantangan bagi Pendidik Augustinian sekarang.  

  

2.      Bentuk/Dasar: Spiritualitas Agustinian dalam Kerasulan Pendidikan

Dari sekian banyak definisi spiritualitas, saya mau mengajak kita untuk melihat bagaimana

Tarcicius van Bavel, OSA mendefinisikan spiritualitas sebagai ‘jendela Injil’ (window on the gospel). Agustinus telah mengalami perjalanan dunia kata (word-journey) - dari tidak menyukai tulisan-tulisan suci (sacred writings), perlahan-lahan menemukan kegembiraannya setelah Ambrosius memulai berbicara demi pertobatan moralnya (moral conversion) di taman Milan sampai mempelajari Kitab Suci setelah tabisannya. Perjalanan menuju spiritualitas alkitabiah (journey towards biblical spirituality) dan konteksnya (tempat, orang, lingkungan politik dan agama) membentuk bagian dari praktek hidupnya atau spiritualitas yang dihayati oleh Agustinus. Sesungguhnya konteks adalah konten. Konteks Agustinus menjadi isi spiritualitasnya. [Truly context is content. The context of Augustine became the content of his spirituality].  

Spiritualitas Agustinus diekspresikan dengan baik dalam Regula yang dia tulis untuk komunitasnya. Konstitusi mengatakan “dokumen utama spiritualitas kita adalah Regula” (Const, 16). Luis Marin de San Martin, OSA mendefinisikan spiritualitas Agustinian sebagai “spiritualitas yang sesuai dengan Ordo St. Agustinus yang menggabungkan ajaran dan teladan Uskup Hippo dengan ciri-ciri spiritual gerakan meminta-minta atau pengemis (mendicant movement), semua ini dihayati dan diwujudkan oleh Ordo sepanjang sejarahnya dalam semua situasi yang berbeda baik waktu, tempat dan budayanya” (San Martin, 2013, 194). [“the spirituality proper to the Order of St. Augustine that joins the teaching and example of the Bishop of Hippo with the spiritual features of the mendicant movement, all of this as lived and manisfested by the Order throughout its history in all its different circumstances of time, place and culture”]. Jadi, San Martin mengidentifikasi empat pilar spiritualitas Agustinian, yaitu: interioritas (interiority), komunitas (community), kemiskinan (poverty) dan gerejawi (ecclesiality). San Martin dan dokumen Kapitel Umum Biasa 2007, mengakui adanya dua sumber dari Spiritualitas Agustinian, yaitu dari Agustinus sendiri dan dari tradisi pengemis (mendicant tradition).  

Dari Agustinus sendiri, elemen-elemen penting dari spiritualitas Agustinian adalah interioritas (interiority), persekutuan hidup (communion of life), dan pelayanan kepada Gereja (service to the Church). Dari tradisi pengemis, dimensi ini menggarisbawahi pencarian kita akan

Tuhan (search for God), kehidupan persaudaraan (fraternal life) dan hasrat untuk mengikuti “Kristus yang miskin.” Dalam hal interioritas dan pencarian akan Tuhan, kata-kata Agustinus, “Engkau telah menciptakan kami dan menarik kami kepada dirimu sendiri dan hati kami tidak tenang sampai beristirahat di dalam dirimu (Confessions, I, 1, 1), berbicara tentang hati yang tidak pernah berakhir mencari Tuhan dan menawarkan “sebuah kisah hidup dan integrasi dari spiritualitas Agustinian” (Robert Russell OSA). Berkenaan dengan persekutuan hidup (communion life) dan hidup persaudaraan (fraternal life), van Bavel, OSA, mencatat bahwa spiritualitas Agustinus merangkul nilai-nilai Injil seperti komunitas (community), mencintai sesama kita (loving our neighbor) sebagai ekspresi konkret dari mencintai Tuhan dan pengembangan hubungan yang baik (development of good relationships). Ketiga, cinta kepada gereja membawa kita pada kesiapsediaan-kehadiran total untuk kebutuhan Gereja, dengan menerima tugas-tugas yang diminta gereja kepada kita ... pelayanan kepada Gereja ini merupakan salah satu karakteristik penting dari spiritualitas Agustinian (Konst 35). Miguel Angel Orcasitas, OSA, menyebutkan bahwa ada tiga elemen yang membentuk Spiritualitas Agustinian: pencarian akan Tuhan (search for God), komunitas (community) dan pelayanan kepada Gereja (service to the Church). Komunitas sebagai intinya, karena komunitas adalah permulaan pencarian akan Tuhan dan organisasi di mana Gereja dilayani.

  Ketiga elemen spiritualitas Agustinian ini juga berkaitan dengan panggilan pribadi kita untuk metanoia, koinonia dan diakonia atau panggilan Kristen untuk pertobatan, persekutuan dan komitmen pelayanan. Menerapkan ketiga elemen spiritualitas Agustinian ini ke dalam konteks pendidikan, kita dapat menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan Augustinian dalam setiap lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan spiritualitas kepemimpinan pendidikan (the spirituality of educational leadership).

Nilai-nilai inti dari pendidikan Agustinian - kebenaran, persatuan-persekutuan, dan cinta kasih (veritas, unitas, dan caritas) tertanam dengan baik pada unsur-unsur spiritualitas Agustinian. Pencarian akan kebenaran merupakan inti dari pendidikan Agustinian. McCloskey (2006) berpendapat bahwa Agustinus memulai perjalanan yang berkelanjutan dalam mengejar dan mempelajari kebenaran. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa Agustinus tidak pernah menangkap kebenaran dan bahwa setiap kebenaran baru bergerak maju dan mendorong atau mengarahkan kita untuk berdialog dengan Guru Batin (the Inner Teacher), Yesus Kristus. Nilai persekutuan-persatuan (the value of unity) dipromosikan dalam pendidikan Augustinian melalui dialog antara guru dan siswa dan dengan satu sama lain, dan dengan para pemimpin sekolah dan anggota komunitas edukatif. Bersandar dengan orang lain adalah hal yang paling penting dan sarana di mana proses pembelajaran berlangsung. Nilai inti terakhir dari pendidikan Agustinian adalah cinta kasih. Nilai cinta kasih (the core value of love) dimulai dengan cinta kepada Tuhan. Pater Theo Tack,OSA menegaskan bahwa pendidikan Augustinian memiliki hubungan penting dengan hati manusia dan hubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dan dengan orang lain. Cinta kepada Tuhan kemudian diungkapkan melalui perwujudan cinta untuk belajar (love for learning) dan kepedulian bagi pelajar (care for the learner).

Perguruan-perguruan tinggi di Filipina berjalan berdasarkan trilogi fungsi atau Tri Dharma perguruan tinggi yakni penelitian (research), pengajaran (instruction) dan pengabdian kepada masyarakat (community service). Meskipun masing-masing berbeda dalam fungsi, ketiganya saling berkaitan sebagaimana dalam tiga unsur spiritualitas Agustinian. Penelitian di lingkungan sekolah mengarah pada pencarian pengetahuan baru (new knowledge) atau memperluas pengetahuan yang ada (broadens existing knowledge) lewat pengajaran dan pengabdian masyarakat. Sekolah Augustinian adalah sekolah yang menawarkan penemuan kebenaran melalui penelitian ulang, pembelajaran, dan diarahkan dengan mencari dan menemukan rangkaian kesatuan-keberlajutan

(continuum), seperti yang dikatakan oleh Agustinus sendiri, “Ketika kebenaran sangat dicari, menemukannya dapat menghasilkan kenikmatan yang lebih besar. Setelah kebenaran itu ditemukan, kebenaran itu dicari lagi dengan keinginan yang diperbarui” (The Trinity, 15, 2, 2). [When truth is eagerly sought, finding it produces greater enjoyment. Found, it is sought again with renewed desire]. Pengajaran menggunakan baik landasan teoritis maupun praktis juga menerapkan ilmu yang diperoleh dari penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Agustinus menegaskan bahwa ‘instruksi-pengajaran diakhiri dengan cinta kasih’ (Customs of the Catholic Church 1, 28, 56). Cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih sebagaimana dikemukakan sebelumnya oleh Tack, yakni cinta untuk belajar (love for learning) dan peduli kepada peserta didik (care for the learner), sehingga terwujudlah kesatuan komunitas belajar. Kebenaran adalah milik seluruh komunitas pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Agustinus, “kebenaran adalah warisan dari semua maka kebenaran bukanlah milik khusus dari siapapun. Sehingga semua yang datang dapat menggunakannya dan tercerahkan. Bagi semua, kebenaranya itu sama jauh dan sama dekatnya. (Komentar tentang Mazmur 76, 12). Di sisi lain, pengabdian kepada masyarakat menghasilkan rencana-rencana dan program-program yang berorientasi pada pengabdian pembangunan masyarakat (community development-oriented service) dari hasil pembelajaran dan penelitian. Kerasulan sosial harus dilaksanakan dengan membentuk kelompok-kelompok aktif dengan komunitas kita, baik umat beriman maupun para peserta didik sekolah kita. Kelompokkelompok itu tidak hanya dibuat untuk memberikan bantuan sosial, tetapi secara khusus agar mereka dapat menjadi agen dari komitmen sosial Agustinian (Konst. 184). 

Untuk memperkuat nilai-nilai dan identitas Agustinian di sekolah kita, pribadi pemimpin dipandang sebagai elemen sentral. Yang berkaitan dengan unsur interioritas adalah gaya kepemimpinan reflektif (reflective style of leadership). Pemimpin reflektif adalah orang yang mampu menilai diri sendiri (self-assessing) dalam kaitannya dengan karakteristik dan sifat esensial dalam upaya mencapai sesuatu. Pemimpin spiritual ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan besar akan sering kali memilih melakukan retret, dan berdoa, melakukan meditasi, atau mencari suasana/rasa tenang untuk kemudian memberikan tanggapan yang tepat terhadap situasi yang dihadapi sekolah. Kontemplasi, bukan konfrontasi, adalah praktik yang disukai oleh para pemimpin spiritual ketika memecahkan masalah (Thompson, 2012, 116). Gaya kolaboratif pemimpin spiritual berkaitan dengan kemampuan luar biasa mereka untuk menghasilkan dan merawat konflik yang berharga melalui dialog (dialogue) dan persahabatan (friendhisp). Pemimpin spiritual memiliki hati yang selaras dengan tujuan kelompok, organisasi, atau seluruh komunitas pendidikan (educative community). Wajar bagi seorang pemimpin spiritual untuk memiliki rasa komunitas (sense of community) di dalam dan di luar tempat kerja (Groen, 2001). Para pemimpin di dunia pendidikan perlu mempraktikkan model kepemimpinan Hamba (Servant-leadership) di mana sifat dasarnya ialah memperhatikan dan mencintai orang lain. Gaya kepemimpinan ini melibatkan individuindividu yang mampu memotivasi dan menginspirasi melalui visi dan agenda yang jelas untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Robert Prevost, OSA dalam artikelnya, ‘The Servant Leader in the Perspective of Augustinian Spirituality’, mencatat bahwa jenis kepemimpinan ini berbasis Injil. Ada beberapa pandangan Agustinian mengenai pengalaman manusia yang memberikan apresiasi yang lebih dalam bagi jenis kepemimpinan ini, sebuah gaya kepemimpinan yang dibutuhkan dalam komunitas Augustinian saat ini termasuk komunitas pendidikan. 

Singkatnya, ketiga elemen spiritualitas Agustinian ini: interioritas (interiority), persekutuan hidup (communion of life), dan pelayanan kepada Gereja (service to the Church) menjadi landasan bagi nilai-nilai dasar pendidikan Agustinian yaitu veritas, unitas, dan caritas. Triologi fungsi perguruan tinggi, yaitu penelitian, pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat juga menemukan landasannya. Gaya kepemimpinan Augustinian (Augustinian leadership style) yang reflektif, kolaboratif, dan melayani juga dapat berakar pada spiritualitas Agustinus.

3.      Re-Inform: Pelbagai Diskusi Terkait Pengetahuan (Knowledge) dan Kebenaran (Truth)

Kecintaan Augustinian pada pengetahuan dan pencarian kebenaran atau devosi untuk studi yang berkaitan bidang sakral ataupun profan menemukan tempatnya dalam konteks pendakian pikiran atau keterarahan pikiran kepada Kebenaran (the mind’s ascent to Truth). Dimensi intelektual dari spiritualitas Augustinian telah diperhatikan secara saksama. Beberapa pemikir Augustinian terkenal seperti Gary McCloskey, Theodore Tack, Donald Burt, Alberto Esmeralda, Insunza Seco, Rubio Bardon, dan Galindo Rodrigo membahas topik tersebut secara mendalam. Setelah belajar dari para pemikir tersebut, kita akan membahas dimensi intelektual ini karena berkaitan dengan pembinaan dan pendidikan para murid dalam beberapa sub pokok pembahasan berikut: (a) Lewat Interioritas ke Kebenaran; (b) Iman dan Nalar; dan (c) Keutamaan dan Ilmu Pengetahuan.

 

(a) Through Interiority to Truth 

  

Interioritas adalah nilai tertinggi yang Agustinus hidupi sepenuhnya. Ini mengacu pada kehidupan integritas (the life integrity) atau keutuhan tujuan (singleness of purpose) di mana seseorang harus lakukan untuk meningkatkan kemajuan hidup spiritual. Hal ini melibatkan fokus dan konsentrasi pada pentingnya diri (self) dan terlebih pada Tuhan yang ada di dalam daripada hal-hal di luar. Fermin Fernandez Bienzobas, OSA menegaskan bahwa Agustinus mengajak orang untuk melakukan perjalanan hidup dengan menjalani petualangan wisata interior (the adventure of interior tourism). Seperti dikatakan oleh Agustinus, “Orang-orang mengagumi gunung-gunung yang tinggi, dan ombak besar di laut, dan air terjun, dan samudra yang luas dan tarian bintangbintang, tetapi mereka meninggalkan diri mereka sendiri di belakang pandangan” (Confessions, X, 8, 15). Agustinus mengilustrasikan perjalanan menuju interioritas ini ketika dia berkata,

“Kembalilah ke dirimu sendiri. Karena di dalam diri batiniah kebenaran berdiam” (On True Religion 39,72). Jalur yang ditempuh dalam wisata interior ini menurut Bienzobas,OSA adalah yang melampaui interioritas.  

         Agustinus menceritakan, “Saya masuk di bawah bimbingan Anda ke tempat-tempat terdalam keberadaan saya, saya masuk, dan dengan penglihatan roh saya nampaknya ada cahaya yang tidak berubah. Cahaya yang saya lihat sama sekali bukan cahaya biasa melainkan sesuatu yang berbeda, sama sekali berbeda, dari segala sesuatu. Siapa saja yang mengetahui kebenaran, dia mengetahui cahaya itu, dan siapa pun yang mengetahui cahaya itu, dia mengetahui keabadian. Kasih mengetahuinya. O Kebenaran abadi, Cinta sejati, dan Keabadian terkasih, Engkau adalah Allahku, dan kepadamu aku mengadu siang dan malam (Confessions VII, 10, 16). Metode interioritas bersua dengan Kebenaran yang ada di dalam. McCloskey (2006) menegasakan bahwa dalam pedagogi Augustinian belajar bagaimana menjadi pribadi yang bersemangat untuk mempelajari kebenaran tidak hanya bersifat personal (pribadi) tetapi juga komunal karena memiliki pendekatan komunitarian.

  

(b) Iman dan Akal Budi (Rasio)

 

Agustinus, sebagai seorang anak belajar iman Katolik dari ibunya, Monica. Tetapi pada saat menjadi seorang remaja dia meninggalkan iman Katolik itu karena dia tidak dapat menemukan lagi keabsahannya dan menolak sebuah agama yang, menurut pikirannya bukan merupakan ekspresi akal budi, yaitu kebenaran. Rasa haus akan kebenaran sangat radikal dalam dirinya sehingga membuatnya menjauh dari iman Katolik. Namun, radikalisme (pikiran dan hasrat untuk menemukan kebenaran) yang dianutnya merupakan sesuatu yang tidak dapat membuatnya puas. Karena dalam radikalisme itu terdapat filsafat-filsafat yang tidak mengarah pada kebenaran itu sendiri, tidak mengarah kepada Allah, kepada Allah yang bukan hanya hipotesis kosmologis tertinggi (ultimate cosmological hypothesis) tetapi juga Tuhan yang benar, Tuhan yang memberi kehidupan dan masuk ke dalam hidup kita.

Seluruh perkembangan intelektual dan spiritual Agustinus bisa menjadi sesuatu model yang cocok saat ini dalam hubungan antara iman dan akal budi (rasio) bagi kaum beriman maupun setiap orang yang mencari kebenaran (karena kebenaran telah menjadi  tema sentral dalam keseimbangan dan nasib setiap manusia). Kedua dimensi, iman dan akal budi ini harus selalu berjalan seiring. Seperti yang ditulis oleh Agustinus sendiri setelah pertobatannya, iman dan akal budi adalah “dua kekuatan yang membawa kita pada pengetahuan” (Against the Skeptics, III, 20, 43). Maka Agustinus mengekspresikan sintesis yang koheren dari iman dan akal budi: “Saya percaya supaya memahami”- [I believe in order to understand] percaya membuka jalan untuk melintasi ambang kebenaran –demikian juga secara tak terpisahkan “Saya mengerti lebih baik supaya percaya”, [I understand, the better to believe] orang percaya mesti menelaah kebenaran supaya dapat menemukan Tuhan dan supaya percaya kepada-Nya (lih. Khotbah 43, 9). Hubungan yang harmoni antara iman dan akal budi menunjukan bahwa Tuhan tidak jauh: Dia tidak jauh dari akal budi dan hidup kita; dia dekat dengan setiap manusia, dekat dengan hati dan akal kita, jikalau kita sunguhsungguh berziarah.     

(c) Keutamaan dan Ilmu Pengetahuan (Virtus et Scientia)

 

Lambang sekolah Augustinian Filipina berisi tiga simbol: elang yang memiliki cakar, lambang Ordo Santo Agustinus dan di bawah sayapnya, tertulis kata-kata “virtus et scientia”. Simbol elang adalah suatu ciri khusus lembaga yang berkaitan dengan para Agustinian Spanyol. Elang, berhubungan dengan Istana Kerajaan raja Philip II, Raja Spanyol yang memberikan namanya untuk negara kami, Filipina. Elang sebagai lambang istimewa bagi kami; ia dapat membangkitkan elang kekaisaran Spanyol atau elang emas - keduanya ada dalam kehidupan nyata. Elang juga melambangkan Agustinus sebab laksana seekor elang dia menggapai dan memiliki kontemplasi yang tinggi dan ketajaman visi teologisnya.

Moto sekolah adalah virtus et scientia. Frasa ini tidak ada dalam tulisan Agustinus, tetapi frasa ini mengarisbawahi banyak rumusan Agustinus tentang hubungan sains dan iman, kebijaksanaan dan pemahaman, pengajaran dan praktik. Alberto Esmeralda, OSA mengakui bahwa memang ilmu kebajikan binomial tidak muncul dalam karya Agustinus meskipun ConcupiscenceIgnorance yang adalah kebalikannya termuat di dalam karyanya. Agustinus mengajarkan bahwa selain kematian, dua efek dosa asal dalam diri kita adalah nafsu (concupiscence) atau hasrat rendah manusia yang terarah pada diri karena menikmati suatu objek (makanan, pakaian), orang (gairah seksual), atau pengalaman yang bertentangan dengan akal budi, dan  ketidaktahuan (ignorance). Nafsu, suatu hal yang melemahkan kehendak (the weakening of will), dan ketidaktahuan, suatu hal yang melemah kecerdasan (the weakening of intellect) menjadi dasar perbudakan dosa kita. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Agustinus, Tuhan kita, Dokter Ilahi, begitu bijaksana sehingga Ia menawarkan dua jenis pengobatan untuk penyakit kita: penyembuhan melalui pertentanganpertentangan (a cure by contraries), dan pengyembuhan dari kesamaan-kesamaan (a cure of similarities). Dalam hal ini Dokter Ilahi memberikan obat penyembuhan berupa keutamaan (virtue) untuk memulihkan nafsu dan sains (science) untuk meyembuhkan  ketidaktahuan. Dia memberi kita keutamaan (virtue) dan sains (ilmu pengetahuan) melalui proses formatif yang kita sebut “pendidikan Agustinian.” Keutamaan sebagai kekuatan karakter, dan ilmu pengetahuan atau sains sebagai kekuatan kecerdasan. Keduanya merupakan dua sayap yang memungkinkan elang kita terbang, melayang, melampaui dan mengatasi keterbatasan kelemahan manusia. Saat ini, elang yang melebarkan sayapnya sekali lagi untuk terbang ke ketinggian baru adalah para murid kita. Oleh karena itu, motto Virtus et scientia harus dipakai sebagai indikasi bahwa kecintaan Agustinus pada pengetahuan dan pencarian kebenaran atau pengabdian kita untuk belajar dan menelaah harus dijadikan sebagai elemen integral dalam pertumbuhan seseorang dalam kehidupan Kristen. 

4.      Transformasi: Tantangan Bagi Para Pendidik Agustinian Masa Kini

Ada tantangan besar bagi kita sebagai pendidik di abad ke-21 ini, namun saya akan membatasi hanya tiga yang berkaitan dengan topik yang ditugaskan kepada saya.

  • Pertama, Tentang Menjadi Bersemangat pada Spiritualitas Augustinus

Kita perlu melanjutkan karisma atau spiritualitas Ordo kita. Tantangan hari ini menanggapi tuntutan baru pendidikan masa depan sambil menjunjung tinggi nilai tradisi (lih. Mark Stower). Semua anggota komunitas edukatif harus berjuang untuk terus dibentuk dengan cara Agustinian. Sebagaimana Konstitusi mencatat, “kita harus mendorong komunitas pendidikan di sekolah kita untuk menghayati nilai-nilai Injil dari perspektif spiritualitas dan pedagogi Agustinian (Konst 163). Yang penting adalah kita harus menjadi saksi dari nilai-nilai spiritualitas dan pedagogi Agustinian karena orang modern tidak akan mendengarkan para guru kecuali mereka (para guru) adalah saksisaksi nila-nilai tersebut. Tujuan kita sebagai pendidik Agustinian adalah untuk “memperkuat identitas dan nilai Agustinian melalui pembentukan standar formasi dan integrasi dalam kurikulum, pengajaran dan penelitian” (Provinsi Cebu, Program Quadrennial, 54).

  • Kedua, Tentang Mengembangkan Karunia Mencari

 Pelbagi pengajaran dan pembelajaran yang kita terima, apa yang kita dengar, lihat dan alami bahkan seluruh seluruh hidup itu sendiri menimbulkan pertanyaan terus menerus. Orang yang mencari jawaban yang benar dengan tekun dapat berkembang dalam pengetahuan (knowledge) dan kebijaksanaan (wisdom). Mencari berarti bertanya-tanya. Dengan demikian, melalui rencana pendidikan dimungkinkan untuk menciptakan kondisi bagi seseorang untuk mengembangkan karunia mencari dan untuk dibimbing dalam menemukan misteri keberadaannya dan realitas di sekitarnya sampai dia mencapai ambang batas iman (lih. cf. Consecrated Persons and Their Mission in Schools, 51). Para pendidik perlu terlibat dalam dialog yang akan meningkatkan pembelajaran dan penemuan kebenaran dari kesadaran diri (self-awarnerss) hingga kesadaran sosial (social-awaraness).

  • Ketiga, Tentang Sekolah Yang Menawarkan Penemuan Kebenaran

Di sekolah, pengetahuan manusia bisanya dilihat sebagai kebenaran yang akan ditemukan. Penemuan dan kesadaran akan kebenaran mengarah pada penemuan Kebenaran itu sendiri. Seorang guru yang penuh dengan hikmat Kristiani dan telah dipersiapkan dengan baik melakukan lebih dari sekadar apa yang dia ajarkan kepada murid-muridnya. Lebih dari apa yang dia katakan, dia membimbing murid-muridnya melampaui kata-katanya ke pusat Kebenaran absolut. (cf. The Catholic Schools, 41). Dengan demikian, identitas dan iklim sekolah Augustinian adalah iklim dan lingkungan yang menawarkan penemuan kebenaran melalui studi dan perwujudannya melalui komitmen etis (ethical commitment) (cf Santiago Insunza Seco, OSA).

5.      Kesimpulan 

Berada di Universitas Villanova, nama yang diambil dari St Thomas Villanova, Pelindung

Studi Ordo, kita yang bekerja di kerasulan sekolah semua diingatkan tentang mandat untuk dibentuk (form), diingatkan kembali (re-informed) dan diubah (transformed). Kita perlu berkomitmen untuk terus membina spiritualitas dan pedagogi Agustinian. Kita perlu diingatkan kembali mengenai pentingnya komitment kita untuk belajar dan mencari kebijaksanaan dan menemukan Kebenaran yang ada di dalam. Lagipula kita perlu ditransformasikan melalui pedagogi Augustinian dalam hal kecintaan kita pada pengetahuan dan pencarian kebenaran. 

Untuk mengakhiri, izinkan saya mengutip firman Yesus dalam Injil Yohanes, “Akulah jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14: 6). Agustinus mengomentari kata-kata ini dengan mengatakan, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Karena melalui/oleh saya kamu datang; kepada Akulah yang kamu datang, dan di dalam diriku kamu tetap tinggal. Bagaimana cara kamu ingin pergi? Saya jalannya. Kemana kamu ingin pergi? Akulah kebenaran. Di mana Anda ingin tinggal? Akulah hidup. (On Christian Doctrine, 1, 34). Semoga kita melanjutkan perjalanan yang tiada henti dari proyek seumur hidup ini yang mendorong kita untuk mencari kebenaran dan pada akhirnya kita diubah menjadi pribadi yang serupa dengan pribadi Kristus yang adalah Sang Kebenaran. 

 

Questions for Reflection  

 

  • Considering the culture of the youth and of one’s country, what elements of an Augustinian spirituality you consider a challenge in the work of education?
  • What can you as consider a great challenge for educational centers related to the becoming of our Augustinian schools that invites discovery of truth?
  • The Augustinian’s devotion to study and the pursuit of wisdom are the intellectual dimension of our spirituality. What educational program or plan would you craft to create the conditions for a person to develop the gift of searching?

     

[1] Makalah ini disampaikan pada Kongres Pendidikan Augustinian (Augustinian Education Congress 2017) yang diselenggarakan oleh International Commission for Augustinian Centers of Education di Universitas Villanova pada tanggal 24-28 July 2017 dengan tema: Augustinian Pedagogy: A Passion for Education. Judul asli dari tulisan ini adalah Passion for Augustinian Spirituality:  Love of Knowledge and Search for Truth.

 

Baca 5915 kali Terakhir diubah pada Rabu, 15 Mei 2024 00:34